Selalu ada alasan untuk memelihara hobby. Tapi tentu juga ada alasan tepat menghentikannya.
Anita tak beranjak dari depan etalase, sudah lebih dari lima menit. Sepasang sepatu terpajang di situ. Sepatu warna merah, model tertutup, dengan tali-tali. Tinggi haknya sepuluh centimeter. Di kepalanya, Anita sudah membayangkan bahwa ia akan mengenakan sepatu itu dengan tas merah besar tersandang di bahu. Bajunya? Terusan warna khaki. Anita memejamkan mata, agar bayangan itu makin nyata. Uh… cantiknya….
Akhirnya Anita masuk ke dalam butik sepatu itu. Langsung menuju si merah seperti memenuhi panggilan kekasih. Diambilnya sepatu yang kiri. Dari dekat, sepatu itu memang betul-betul cantik. Seperti otomatis, Anita mencopot sepatunya dan mencoba sepatu merah itu. Pas. Anita tidak sempat lagi berpikir, tahu-tahu ia sudah keluar dari butik sepatu itu, membawa si merah, pacar barunya.
***
"Hanya untuk sepasang sepatu?" alis Benno naik sebelah.
"Ini bukan ‘hanya sepatu'. Ini sepatu model terbaru. Ini barang bagus," kilah Anita.
"Tentu saja bagus, harganya begitu mahal...," Benno tak meneruskan kalimatnya.
"Tenang saja. Aku membayarnya dengan uangku sendiri."
"Aku tahu. Tapi tetap sayang ya, dengan uang sebesar itu, mestinya kita bisa menambah tabungan untuk liburan," tutur Benno perlahan. Ia sadar, ini masalah sensitif.
"Maksudmu?"
"Yah… kupikir sepatu itu terlalu mahal."
"Aku tidak mengutik-utik tabungan kita. Aku sudah bilang, sepatu ini kubayar dengan uangku sendiri." Nada suara Anita mulai naik.
"Iya, aku juga mendengarmu. Tapi bukankah kamu sudah punya sepasang sepatu merah? Yang dulu kau beli karena kau merasa tidak punya padanan tas merah? Itu pun masih bagus karena baru beberapa kali kau pakai."
"Jadi, kau pikir aku harus mengembalikan sepatu ini?"
"Aku tidak berkata begitu. Hanya, membeli sesuatu yang sudah kau punyai bukanlah tindakan bijaksana."
"Tapi ini sepatu bagus, Ben. Dan kupikir, aku berhak menyenangkan diriku sendiri," kata Anita tajam.
"Pilihanmu selalu bagus, Nita," Benno tersenyum. "Tapi lihatlah. Lemari sepatumu sudah ada tiga, dan tiga-tiganya sudah terlalu penuh."
"Maksudmu?" Anita mulai setengah berteriak.
"Kau toh bukan penyanyi atau pemain sinetron yang tiap hari harus ke pesta. Rasanya, sepatumu sudah terlalu banyak."
"Tapi model sepatu juga berganti hampir tiap bulan, Ben. Aku kan juga harus selalu tampil trendy agar tidak nampak konyol."
"Kamu tidak akan konyol gara-gara hanya punya dua pasang sepatu."
"Benno! Kamu memang tidak mengerti mode!"
"Sudahlah, kalau kau memang menyukainya, kau bisa mengarang alasan apa pun untuk memilikinya. Terserah kamu."
Anita tidak menjawab, hanya tersenyum puas.
***
Anita tampak serius membalik-balik halaman majalah di depannya. Ia sangat tekun, seperti seorang peneliti yang menyelidiki mikroba. Setiap halaman dibolak-baliknya, diamati dengan seksama, sebelum ditandai dengan kertas kecil warna warni.
"Serius amat, Nit!" tegur Shinta sambil menepuk pundak Anita.
"Ih… ganggu aja sih kamu!" kata Anita gemas. Majalah ia letakkan di meja karena terkejut.
"Ya kamu kayak mau makan majalah saja. Ayo… mau makan siang tidak? Dari tadi aku panggil-panggil diam saja, ternyata sedang asyik."
"He… he… maaf aku nggak dengar. Majalahku baru saja datang."
"Baca artikel apa, sih? Serius sekali."
"He… he… aku sedang melihat-lihat model sepatu terbaru."
"Astaga Anita, memangnya kamu sudah bosan dengan sepatumu yang cantik-cantik itu? Masak mau membeli lagi?"
"Ah, kamu ternyata sama saja dengan suamiku… tidak paham mode terbaru. Perempuan harus bisa tampil gaya, Shin. Biar semangat bekerja dan tidak dipandang sebelah mata."
Alis mata Shinta nyaris bertaut sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja dengan tiga pasang sepatuku. Pekerjaanku tidak ada hubungannya dengan apakah sepatuku model terbaru atau bukan."
"Lho, kamu begitu saja kok tersinggung? Maksudku, agar kita makin semangat bekerja, kita boleh tampil cantik." Anita melenggang pergi. Meninggalkan Shinta yang geleng-geleng kepala.
"Aku nggak ngerti hobby-mu, Nit!"
***
Benno sering berpikir, barangkali Anita dilahirkan untuk menyaingi Imelda Marcos. Koleksi sepatunya memang tak sebanding dengan mantan ibu Negara Filipina itu. Tapi tetap saja, di mata Benno, perempuan dengan sepatu berjumlah lebih dari 30 pasang sudah masuk golongan luar biasa. Apalagi Benno tahu bahwa jarang sekali ada sepatu Anita yang berharga di bawah seratus ribu rupiah. Kepala Benno berdenyut ketika menghitung ‘kekayaan’ istrinya itu jika diuangkan. Tapi Benno sadar, tak ada gunanya melawan kegemaran istrinya. Apalagi, nyaris semua sepatu itu dibeli Anita dengan penghasilannya sendiri. Meskipun begitu, pria itu tak kunjung berhenti bertanya "Benarkah seorang perempuan perlu berganti sepatu setiap hari?"
***
Wajah cantik Anita tampak sumringah. Di tangannya, terayun-ayun sebuah tas belanja keluaran butik sepatu ternama. Benno yang berjanji bertemu Anita di pusat perbelanjaan itu langsung lemas membaca nama butik yang tercetak di kantong belanja itu.
"Sepatu baru lagi?”
"Benno, ini baru datang dari Italia. Langsung. Aku pembeli pertama yang memesan setelah kulihat sepatu ini di majalah."
"Nit… kamu yakin mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sepasang sepatu ini?"
"Sepatu bagus memang mahal, Ben."
"Maksudku… untuk apa?"
"Ben, aku sudah capek-capek bekerja…tidak bolehkah aku menghibur diriku sendiri?"
"Boleh saja. Tapi apa harus dengan sepatu?"
"Tidakkah kamu paham, aku bisa sangat bersemangat jika di Senin pagi mengenakan sepatu baru? Rapat hari Senin tak lagi menyebalkan."
"Itu alasanmu saja, kan? Seperti biasa, kau punya seribu alasan untuk kesukaanmu ini. Nanti lama-lama kau harus belanja sepatu di hari Minggu, untuk kau pakai pada Senin pagi."
"Benno, kamu berlebihan."
"Maaf, Nit, rasanya kau yang berlebihan. Ingat, sepatumu sudah berapa?"
"Tapi semuanya kan aku beli sendiri!"
"Tapi untuk apa sepatu sebanyak itu?"
"Sudahlah, kamu memang tidak suka melihatku senang!"
"Kamu tahu aku tidak bermaksud begitu."
"Benno, katakan saja, apakah aku harus mengembalikan sepatu ini?"
"Kalau menurutmu itu ide bagus, kenapa tidak?"
"Kamu tega membuatku sedih, Ben?"
"Lho, kan itu idemu sendiri?"
"Sungguh Ben, kamu tega?" Mendung langsung terlihat di wajah Anita.
"Sudahlah Nit, kamu boleh memilikinya jika memang ingin." Benno menghela nafas.
Sekali lagi Anita tersenyum puas.
***
Anita tengah menyimak perkataan atasannya ketika ponselnya bergetar. Nama Benno berpendar di layar. Kening Anita berkerut. Benno tahu bahwa hari ini adalah saat Anita rapat mingguan. Anita terkesiap, ini pasti darurat. Benar saja.
"Nit, aku sekarang di rumah sakit bersama Adinda."
"Adinda kenapa?" suara Anita tercekat, nyaris menangis.
"Sekarang dia sudah tidak apa-apa. Kata dokter dia tidak perlu menginap karena lukanya sudah dijahit," tutur Benno. Nada suaranya tampak jelas sedikit panik.
"Benno, jelaskan padaku! Adinda kenapa?" Anita mulai emosional.
"Dahinya luka tadi pagi."
"Bagaimana bisa?"
"Kata Lasmi, ia terkena salah satu hak sepatumu."
"Apa???"
"Lasmi bercerita bahwa Adinda merangkak ke depan gudang. Nampaknya ia tertarik melihat sepatu-sepatumu yang berwarna warni. Ketika ia mencoba berdiri, ia memegang sisi lemari yang salah, akibatnya, salah satu sepatu jatuh dan menimpa dahinya."
"Benno...."
"Tenang saja… dia sudah tidak apa-apa sekarang. Tangisnya juga sudah berhenti."
"Benno... benarkah anakku celaka gara-gara sepatuku?"
***
"Kamu benar Ben. Sepatuku sudah terlalu banyak," sesal Anita. Tangannya mengelus Adinda yang tidur nyenyak, dengan perban melintang di dahi.
"Sudahlah Nit, ini kecelakaan yang bisa terjadi pada siapa saja."
"Tidak, kamu benar. Aku terlalu egois. Lihat saja, nyaris seluruh rumah kupenuhi dengan sepatuku."
"Yaah... kalau kau memang suka sepatu...."
"Lihat, bahkan Adinda pun tak punya tempat bermain lagi hingga harus berada di dekat-dekat lemari sepatu," Anita mulai terisak lagi. Terbayang olehnya Adinda yang kesakitan karena tertimpa ujung sepatu.
"Sudahlah Nit. Toh Adinda tak apa-apa sekarang," bujuk Benno.
"Aku sadar, harus menghentikan kebiasaanku membeli sepatu."
"Kamu serius?" Benno membelalak.
"Betul, Ben. Aku sungguh-sungguh. Lagipula, yang kumiliki sekarang sudah cukup banyak."
"Hmm… memang sih, rasanya sepatumu sudah cukup memenuhi kebutuhanmu sampai masa pensiun tiba...," goda Benno.
"Benno! Aku serius!"
"Oke… oke… maaf, aku tak tahan menggodamu. Tapi aku senang kalau kau mau berhenti membeli sepatu. Kuharap kau betul-betul berhenti."
"Benno, tolong ingatkan aku pada janjiku ya."
"Siap!" tangan Benno melekat di dahi, posisi menghormat.
"Benno! Aku tidak bercanda!"
"Aku tahu Nit... aku tahu...," Benno tersenyum. "Aku tahu akan ada alasan yang tepat untuk menghentikanmu belanja sepatu."
"Tolong ingatkan aku ya Ben."
"Tentu, Sayang... tentu...," wajah Benno mendekat pipi istrinya. Diciumnya sekilas. Anita tersenyum, "Terima kasih, Ben."
"Sama-sama, Sayang...,” Wajah Benno makin dekat. Tahu-tahu Anita sudah dipeluknya. Diciumnya istrinya penuh sayang. Anita membalasnya. Benno makin bersemangat, tangannya jadi tak bisa diam, meraba kancing baju istrinya.
"Sttt... Ben... Adinda terbangun!"
(Diterbitkan di rubrik cerita pendek Good Housekeeping, 2008)
Anita tak beranjak dari depan etalase, sudah lebih dari lima menit. Sepasang sepatu terpajang di situ. Sepatu warna merah, model tertutup, dengan tali-tali. Tinggi haknya sepuluh centimeter. Di kepalanya, Anita sudah membayangkan bahwa ia akan mengenakan sepatu itu dengan tas merah besar tersandang di bahu. Bajunya? Terusan warna khaki. Anita memejamkan mata, agar bayangan itu makin nyata. Uh… cantiknya….
Akhirnya Anita masuk ke dalam butik sepatu itu. Langsung menuju si merah seperti memenuhi panggilan kekasih. Diambilnya sepatu yang kiri. Dari dekat, sepatu itu memang betul-betul cantik. Seperti otomatis, Anita mencopot sepatunya dan mencoba sepatu merah itu. Pas. Anita tidak sempat lagi berpikir, tahu-tahu ia sudah keluar dari butik sepatu itu, membawa si merah, pacar barunya.
***
"Hanya untuk sepasang sepatu?" alis Benno naik sebelah.
"Ini bukan ‘hanya sepatu'. Ini sepatu model terbaru. Ini barang bagus," kilah Anita.
"Tentu saja bagus, harganya begitu mahal...," Benno tak meneruskan kalimatnya.
"Tenang saja. Aku membayarnya dengan uangku sendiri."
"Aku tahu. Tapi tetap sayang ya, dengan uang sebesar itu, mestinya kita bisa menambah tabungan untuk liburan," tutur Benno perlahan. Ia sadar, ini masalah sensitif.
"Maksudmu?"
"Yah… kupikir sepatu itu terlalu mahal."
"Aku tidak mengutik-utik tabungan kita. Aku sudah bilang, sepatu ini kubayar dengan uangku sendiri." Nada suara Anita mulai naik.
"Iya, aku juga mendengarmu. Tapi bukankah kamu sudah punya sepasang sepatu merah? Yang dulu kau beli karena kau merasa tidak punya padanan tas merah? Itu pun masih bagus karena baru beberapa kali kau pakai."
"Jadi, kau pikir aku harus mengembalikan sepatu ini?"
"Aku tidak berkata begitu. Hanya, membeli sesuatu yang sudah kau punyai bukanlah tindakan bijaksana."
"Tapi ini sepatu bagus, Ben. Dan kupikir, aku berhak menyenangkan diriku sendiri," kata Anita tajam.
"Pilihanmu selalu bagus, Nita," Benno tersenyum. "Tapi lihatlah. Lemari sepatumu sudah ada tiga, dan tiga-tiganya sudah terlalu penuh."
"Maksudmu?" Anita mulai setengah berteriak.
"Kau toh bukan penyanyi atau pemain sinetron yang tiap hari harus ke pesta. Rasanya, sepatumu sudah terlalu banyak."
"Tapi model sepatu juga berganti hampir tiap bulan, Ben. Aku kan juga harus selalu tampil trendy agar tidak nampak konyol."
"Kamu tidak akan konyol gara-gara hanya punya dua pasang sepatu."
"Benno! Kamu memang tidak mengerti mode!"
"Sudahlah, kalau kau memang menyukainya, kau bisa mengarang alasan apa pun untuk memilikinya. Terserah kamu."
Anita tidak menjawab, hanya tersenyum puas.
***
Anita tampak serius membalik-balik halaman majalah di depannya. Ia sangat tekun, seperti seorang peneliti yang menyelidiki mikroba. Setiap halaman dibolak-baliknya, diamati dengan seksama, sebelum ditandai dengan kertas kecil warna warni.
"Serius amat, Nit!" tegur Shinta sambil menepuk pundak Anita.
"Ih… ganggu aja sih kamu!" kata Anita gemas. Majalah ia letakkan di meja karena terkejut.
"Ya kamu kayak mau makan majalah saja. Ayo… mau makan siang tidak? Dari tadi aku panggil-panggil diam saja, ternyata sedang asyik."
"He… he… maaf aku nggak dengar. Majalahku baru saja datang."
"Baca artikel apa, sih? Serius sekali."
"He… he… aku sedang melihat-lihat model sepatu terbaru."
"Astaga Anita, memangnya kamu sudah bosan dengan sepatumu yang cantik-cantik itu? Masak mau membeli lagi?"
"Ah, kamu ternyata sama saja dengan suamiku… tidak paham mode terbaru. Perempuan harus bisa tampil gaya, Shin. Biar semangat bekerja dan tidak dipandang sebelah mata."
Alis mata Shinta nyaris bertaut sebelum menjawab, "Aku baik-baik saja dengan tiga pasang sepatuku. Pekerjaanku tidak ada hubungannya dengan apakah sepatuku model terbaru atau bukan."
"Lho, kamu begitu saja kok tersinggung? Maksudku, agar kita makin semangat bekerja, kita boleh tampil cantik." Anita melenggang pergi. Meninggalkan Shinta yang geleng-geleng kepala.
"Aku nggak ngerti hobby-mu, Nit!"
***
Benno sering berpikir, barangkali Anita dilahirkan untuk menyaingi Imelda Marcos. Koleksi sepatunya memang tak sebanding dengan mantan ibu Negara Filipina itu. Tapi tetap saja, di mata Benno, perempuan dengan sepatu berjumlah lebih dari 30 pasang sudah masuk golongan luar biasa. Apalagi Benno tahu bahwa jarang sekali ada sepatu Anita yang berharga di bawah seratus ribu rupiah. Kepala Benno berdenyut ketika menghitung ‘kekayaan’ istrinya itu jika diuangkan. Tapi Benno sadar, tak ada gunanya melawan kegemaran istrinya. Apalagi, nyaris semua sepatu itu dibeli Anita dengan penghasilannya sendiri. Meskipun begitu, pria itu tak kunjung berhenti bertanya "Benarkah seorang perempuan perlu berganti sepatu setiap hari?"
***
Wajah cantik Anita tampak sumringah. Di tangannya, terayun-ayun sebuah tas belanja keluaran butik sepatu ternama. Benno yang berjanji bertemu Anita di pusat perbelanjaan itu langsung lemas membaca nama butik yang tercetak di kantong belanja itu.
"Sepatu baru lagi?”
"Benno, ini baru datang dari Italia. Langsung. Aku pembeli pertama yang memesan setelah kulihat sepatu ini di majalah."
"Nit… kamu yakin mengeluarkan uang sebanyak itu untuk sepasang sepatu ini?"
"Sepatu bagus memang mahal, Ben."
"Maksudku… untuk apa?"
"Ben, aku sudah capek-capek bekerja…tidak bolehkah aku menghibur diriku sendiri?"
"Boleh saja. Tapi apa harus dengan sepatu?"
"Tidakkah kamu paham, aku bisa sangat bersemangat jika di Senin pagi mengenakan sepatu baru? Rapat hari Senin tak lagi menyebalkan."
"Itu alasanmu saja, kan? Seperti biasa, kau punya seribu alasan untuk kesukaanmu ini. Nanti lama-lama kau harus belanja sepatu di hari Minggu, untuk kau pakai pada Senin pagi."
"Benno, kamu berlebihan."
"Maaf, Nit, rasanya kau yang berlebihan. Ingat, sepatumu sudah berapa?"
"Tapi semuanya kan aku beli sendiri!"
"Tapi untuk apa sepatu sebanyak itu?"
"Sudahlah, kamu memang tidak suka melihatku senang!"
"Kamu tahu aku tidak bermaksud begitu."
"Benno, katakan saja, apakah aku harus mengembalikan sepatu ini?"
"Kalau menurutmu itu ide bagus, kenapa tidak?"
"Kamu tega membuatku sedih, Ben?"
"Lho, kan itu idemu sendiri?"
"Sungguh Ben, kamu tega?" Mendung langsung terlihat di wajah Anita.
"Sudahlah Nit, kamu boleh memilikinya jika memang ingin." Benno menghela nafas.
Sekali lagi Anita tersenyum puas.
***
Anita tengah menyimak perkataan atasannya ketika ponselnya bergetar. Nama Benno berpendar di layar. Kening Anita berkerut. Benno tahu bahwa hari ini adalah saat Anita rapat mingguan. Anita terkesiap, ini pasti darurat. Benar saja.
"Nit, aku sekarang di rumah sakit bersama Adinda."
"Adinda kenapa?" suara Anita tercekat, nyaris menangis.
"Sekarang dia sudah tidak apa-apa. Kata dokter dia tidak perlu menginap karena lukanya sudah dijahit," tutur Benno. Nada suaranya tampak jelas sedikit panik.
"Benno, jelaskan padaku! Adinda kenapa?" Anita mulai emosional.
"Dahinya luka tadi pagi."
"Bagaimana bisa?"
"Kata Lasmi, ia terkena salah satu hak sepatumu."
"Apa???"
"Lasmi bercerita bahwa Adinda merangkak ke depan gudang. Nampaknya ia tertarik melihat sepatu-sepatumu yang berwarna warni. Ketika ia mencoba berdiri, ia memegang sisi lemari yang salah, akibatnya, salah satu sepatu jatuh dan menimpa dahinya."
"Benno...."
"Tenang saja… dia sudah tidak apa-apa sekarang. Tangisnya juga sudah berhenti."
"Benno... benarkah anakku celaka gara-gara sepatuku?"
***
"Kamu benar Ben. Sepatuku sudah terlalu banyak," sesal Anita. Tangannya mengelus Adinda yang tidur nyenyak, dengan perban melintang di dahi.
"Sudahlah Nit, ini kecelakaan yang bisa terjadi pada siapa saja."
"Tidak, kamu benar. Aku terlalu egois. Lihat saja, nyaris seluruh rumah kupenuhi dengan sepatuku."
"Yaah... kalau kau memang suka sepatu...."
"Lihat, bahkan Adinda pun tak punya tempat bermain lagi hingga harus berada di dekat-dekat lemari sepatu," Anita mulai terisak lagi. Terbayang olehnya Adinda yang kesakitan karena tertimpa ujung sepatu.
"Sudahlah Nit. Toh Adinda tak apa-apa sekarang," bujuk Benno.
"Aku sadar, harus menghentikan kebiasaanku membeli sepatu."
"Kamu serius?" Benno membelalak.
"Betul, Ben. Aku sungguh-sungguh. Lagipula, yang kumiliki sekarang sudah cukup banyak."
"Hmm… memang sih, rasanya sepatumu sudah cukup memenuhi kebutuhanmu sampai masa pensiun tiba...," goda Benno.
"Benno! Aku serius!"
"Oke… oke… maaf, aku tak tahan menggodamu. Tapi aku senang kalau kau mau berhenti membeli sepatu. Kuharap kau betul-betul berhenti."
"Benno, tolong ingatkan aku pada janjiku ya."
"Siap!" tangan Benno melekat di dahi, posisi menghormat.
"Benno! Aku tidak bercanda!"
"Aku tahu Nit... aku tahu...," Benno tersenyum. "Aku tahu akan ada alasan yang tepat untuk menghentikanmu belanja sepatu."
"Tolong ingatkan aku ya Ben."
"Tentu, Sayang... tentu...," wajah Benno mendekat pipi istrinya. Diciumnya sekilas. Anita tersenyum, "Terima kasih, Ben."
"Sama-sama, Sayang...,” Wajah Benno makin dekat. Tahu-tahu Anita sudah dipeluknya. Diciumnya istrinya penuh sayang. Anita membalasnya. Benno makin bersemangat, tangannya jadi tak bisa diam, meraba kancing baju istrinya.
"Sttt... Ben... Adinda terbangun!"
(Diterbitkan di rubrik cerita pendek Good Housekeeping, 2008)
good good...
BalasHapus