Langsung ke konten utama

Always Look at The Bright Side

Always Look at The Bright Side!
Ketika kecil dulu, adakah di antara ibu-ibu yang mengkhayalkan pesta pernikahan? Maksud saya, berangan mau menikah pakai baju apa? Lalu mahkotanya seperti apa.... *tunjukjari*
Angan-angan ini makin luar biasa ketika saya berkesempatan kerja di majalah gaya hidup, yang menerbitkan edisi khusus pernikahan. Setiap tahun, mempersiapkan edisi khusus ini sangat menyenangkan sekaligus bikin deg-degan. Trend kartu undangan terbaru, dekorasi terbaru, potongan gaun pengantin, karangan bunga, souvenir ucapan terima kasih... lengkap dibahas dan diulas. Karena majalahnya cukup beken, banyak desainer khusus membuatkan untuk difoto di edisi ini. Duuuuhhh seruuuu.... 
Seringkali yang keluar adalah ide personal, alias ambisi pribadi.... Itulah yang bikin deg-degan, karena serasa saya yang mau kawin hahahaha.... 
"Saya mau undangan yang kayak gini, mas.... Dikemas di kotak, terus selain undangan, kotaknya diisi bungkusan-bungkusan kecil permen, kacang, potpourri, dan printilan-printilan gitu ya...."
"Mbak, boleh nggak dekorasinya ada kandang burung? Dalamnya ya bunga saja."
"Hantaran bikin yang beda dong... misalnya satu set peralatan lukis... atau satu set alat-alat menyulam."
"Boleh ya, live music saja, atau acapella...."
Semua redaksi biasanya khayal babu... . hahahaha.... 
Dan... seringkali semua diwujudkan lho, oleh para desainer itu. Dan kami foto. Diulas lengkap. Tampil di majalah. Lalu jadi trend. Seru kan. 
Saat itulah khayalan saya soal pernikahan makin membabi buta sekaligus makin spesifik. Mau pakai baju Obin. Mau di poolside. Mau bunga Amarylis.  Iringannya lagu keroncong. Intinya chic simple manis. 
Ternyata oh ternyata ... ketika pernikahan itu betul jadi nyata, impian saya terpaksa saya pinggirkan. Alasan utama karena nggak mau ribut dengan (calon) ibu mertua yang semangat sekali mengurus pernikahan putra satu-satunya. 
"Baju Obin? Aduh mbak... nanti pengantinnya kalah mewah lho, dibanding para tetamu...," adalah kalimat yang membuat saya memutuskan tutup mulut dan nrimo saja.... Enak juga, sih, nggak pusing. Semua sudah diatur dan disiapkan dengan seksama. Saya nggak ikut hiruk pikuk sama sekali. Dan kemudian memang yang terjadi adalah pesta-kayak-gitu-deh ala Jawa yang megah gebyar berwarna keemasan dengan rombongan pemain gamelan dan sinden ternama yang didatangkan khusus dari Yogyakarta. Semoga menyenangkan orangtua berpahala... saya ucapkan selamat tinggal pada gaya chic simple idaman! 
Namun jalan kehidupan membawa banyak hal. Khayalan polos saya di masa lalu soal pernikahan hanyalah sekadar bungkus. Saya tidak mengkhayalkan cara menjalaninya, tidak memikirkan cara menjaganya, juga tidak memperhitungkan segala kerikil sandungan dan hantaman ombak yang mungkin datang. Jadi, ketika akhirnya terhantam badai, runtuhlah semuanya. Pernikahan itu terpaksa diakhiri. 
Sedih? Tentu. Saat itu. Dan beberapa saat setelahnya juga sih.... 
Tapi, hidup jalan terus. Kini, setelah hampir 12 tahun bercerai, sedih sudah hilang. I am moving on. Termasuk punya pacar lalu putus, pacaran lagi lalu putus lagi. Hahahaha.... Ya nasib, ya nasib. 
Tapi... sekarang ini lucunya, khayalan saya soal pernikahan idaman kok muncul lagi! Hahahaha.... Tentunya menjadi lebih dewasa, dalam arti nggak cuma sekadar mikirin bungkus. Pengalaman mengajarkan untuk mempertimbangkan segala aral melintang yang mungkin hadir dalam pernikahan. Apakah memang saya siap, juga anak saya. Dengan kondisi sudah memiliki anak dan aset, mulai cari info soal prenuptial agreement untuk melindungi hak anak saya. Kenyamanan hidup sendiri (mau pulang selarut apa atau bangun sesiang apa nggak ada yang urus), tentu harus dikompromikan jika menikah lagi. Apakah saya siap? Lalu, karena sudah pernah punya pengalaman dengan infidelity, sekarang jadi lebih kritis sama pacar.... 
Tapi... selain itu, tetap lho saya pengen menikah pakai baju Obin, tetep pengen karangan bunga Amarylis, tetep berkhayal soal lokasi di poolside, dengan iringan lagu keroncong.... Ah... Tuhan Maha Baik. Pernikahan pertama saya tidak langgeng,  karena Dia akan beri saya kesempatan untuk menikah lagi. Marilah lihat sisi baiknya: saya tentu bisa menikah lagi dengan gaya chic simple idaman. Alhamdulillah.... 
Hhhmmm... Tuhan, calon suami saya dong segera didatangkan.... 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alasan

Selalu ada alasan untuk memelihara hobby. Tapi tentu juga ada alasan tepat menghentikannya. Anita tak beranjak dari depan etalase, sudah lebih dari lima menit. Sepasang sepatu terpajang di situ. Sepatu warna merah, model tertutup, dengan tali-tali. Tinggi haknya sepuluh centimeter. Di kepalanya, Anita sudah membayangkan bahwa ia akan mengenakan sepatu itu dengan tas merah besar tersandang di bahu. Bajunya? Terusan warna khaki. Anita memejamkan mata, agar bayangan itu makin nyata. Uh… cantiknya…. Akhirnya Anita masuk ke dalam butik sepatu itu. Langsung menuju si merah seperti memenuhi panggilan kekasih. Diambilnya sepatu yang kiri. Dari dekat, sepatu itu memang betul-betul cantik. Seperti otomatis, Anita mencopot sepatunya dan mencoba sepatu merah itu. Pas. Anita tidak sempat lagi berpikir, tahu-tahu ia sudah keluar dari butik sepatu itu, membawa si merah, pacar barunya. *** "Hanya untuk sepasang sepatu?" alis Benno naik sebelah. "Ini bukan ‘hanya sepatu'. Ini sepatu

Anakku Sayang...

Dari tadi, aku lihat perempuan itu hilir mudik. "Bu… bu… lihat anak baju kuning? Kuncir dua...," ia mencolek lenganku. Terkejut, aku menggeleng. "Bajunya kuning, ada gambar boneka." Aku menggeleng lagi. Wajahnya berubah sendu. "Di mana, ya, dia...," Lalu air matanya tumpah. Menangis meraung-raung. Perempuan itu kehilangan anaknya. Menurut cerita tukang sayur, anaknya dibawa lari oleh suaminya yang kawin lagi. Sejak itu, perempuan itu jadi gila. Tentu saja, kehilangan suami adalah kehilangan separuh jiwa. Ditambah kehilangan anak, artinya hilang lagi separuh nyawa. Tiba-tiba aku kangen sekali pada anakku. "Sudah, Mang. Sudah. Itu saja belanja saya. Berapa semuanya?" "Lho, Bu. Tidak jadi menunggu tukang ayam?" "Tidak, Mang. Saya mau pulang sekarang." Saya pengen cium anak saya, tambahku, dalam hati. (Dimuat pertama kali untuk booklet Walls Best Friend Forever Mom, Good Housekeeping Juli 2009)

Warna Warni

Ternyata betul juga... baju dalam warna merah bisa menaikkan mood... yang tadinya bete jadi ceria... Ajaib! Dulu, saya adalah orang hitam. Bukan karena saya terlalu sering berjemur di pantai... tetapi ini tentang orientasi saya terhadap warna, terutama pada benda-benda yang saya kenakan. Sepatu, selalu hitam. Tas, hitam. Pakaian, dominan hitam, kadang-kadang saja warna lain, tapi tidak jauh-jauh dari warna gelap seperti biru tua atau coklat tua. Kalau ditanya kenapa, mungkin alasan utama adalah karena badan saya yang tidak bisa dibilang ideal. Jadi, karena di majalah sering disebut bahwa warna hitam melangsingkan, semangatlah saya memuja warna itu. Tentang tas dan sepatu, saya pilih hitam karena lagi-lagi di majalah saya baca bahwa hitam warna netral, yang sesuai dipadankan dengan warna apa pun. Karena hitam adalah warna favorit, saya jadi kurang semangat belanja sepatu, tas, atau pakaian, karena hasilnya cenderung monoton, itu-itu saja, tidak kelihatan jelas beda baju baru baju