Langsung ke konten utama

Karena Rindu

Tergesa tapi tertata. Waspada. Dan waspada. Ambil buku. Pura-pura baca. 

Bagaimana mungkin Yati akan lupa. Solemah selalu mengulangi kata-kata itu. Waspada, katanya. Harus hati-hati, tidak boleh gegabah. Kecerobohan Yati bisa mencelakakan seluruh anggota. 

"Kamu tidak mau, kan, kita semua dipenjara?" tanya Solemah ketus. "Heh! Jawab!"

Yati hanya mengangguk. Pelan. Ragu. Nada bicara Solemah selalu tinggi. Dan ia mudah sekali memaki. Yati seringkali takut. Tapi dia tak punya pilihan selain bertahan. Termasuk bertahan dalam diam ketika Solemah memakinya. Sudah untung ia tak pernah ditampar. Tidak seperti Sofi.   

"Bloon kamu! Bloon! Kalau dibilangin, nurut! Disuruh cepat ya cepat. Belok ya belok. Jangan maumu sendiri. Bloon!"

Sejak sebulan lalu, Yati tinggal bersama Solemah. Di sebuah kontrakan kecil di daerah padat Tangerang Selatan. Pemukiman itu bersebelahan dengan kompleks baru yang dibangun pengembang raksasa. Rumah-rumah bagus dalam kompleks yang rapi menutupi kampung-kampung kumuh milik warga asli. 

"Kalau kerja, jangan kebanyakan melamun! Kamu harus waspada. Waspada!"

Solemah masih berteriak-teriak. 

Mata Yati nanar menatap tembok. Tembok besar itu membatasi akses warga ke jalan utama. Kabarnya, dulu tembok itu rapat. Tapi setelah warga berkali-kali mengajukan protes, hingga mengundang wartawan, masuk koran juga televisi, akhirnya dibuka dua buah pintu kecil di sisi utara dan sisi selatan. Pintu kecil itu menjadi jalan bagi warga untuk keluar masuk perkampungan. Kecil saja. Hanya pas untuk sepeda motor. 

Kontrakan Solemah adalah salah satu dari rumah petak yang ada di situ. Terletak persis di samping tembok pembatas kompleks besar. Rumah kontrakan yang kecil, tapi disesaki penghuninya. Sebelum Yati datang, sudah ada Maryam dan Sofi. Karena itu Yati harus puas mendapat tempat di depan televisi, menggelar tikar di lantai, untuk sekadar tidur di malam hari. 

"Awas kamu! Lain kali kamu begitu lagi, aku tinggal!" 

Solemah masih belum menuntaskan amarah. Yati pasrah. 

***

Yati menghela napas. Dia ingat-ingat lagi, apa yang membawanya ke sini? Ke pinggiran Jakarta yang tidak seindah gambar di televisi? Jawabannya berbentuk wajah Rafi, anak semata wayangnya. Wajah yang tampan dan menggemaskan. Yang membuat Yati menghela napas semakin dalam, saat teringat ayah Rafi yang tak berkabar lagi semenjak berangkat ke Taiwan setahun silam. 

Ya, Rafi adalah alasan utamanya pergi ke Jakarta. Mencari nafkah. Tepatnya, Rafi menjadi alasannya untuk terus hidup.  Yati menghela napas lagi. 

"Ayo Ti. Ayo... cepat!" Terdengar teriakan Solemah. Pemilik suara itu tiba-tiba muncul dari balik warung rokok yang menempel di balik pagar pertokoan mewah. 

Yati bergegas mengikuti Solemah, sebisa mungkin merapikan rambutnya. Solemah mengajarinya untuk berdandan rapi. Dengan bedak tipis dan pemulas bibir. Meskipun harganya murah, dan kalau dipakai lama-lama terasa gatal, lumayan juga wajah Yati dengan tata rias itu. Jadi rapi. Cantik. Mereka semua yang tinggal bersama Solemah, selalu cantik ketika keluar rumah. Baju mereka bagus, meski dibeli di pasar gaplok. Meski tidak secantik ibu-ibu yang turun dari mobil-mobil bagus itu, Yati sudah merasa puas, ia jauh lebih cantik jika dibandingkan saat dulu masih berkutat dengan pohon cabai di desa. 

"Ayo, cepat Yati! Jangan banyak ngelamun!" 

Yati mempercepat langkah mendekati Solemah. Bersama Sofi dan Maryam, mereka masuk pertokoan. Hawa dingin dari mesin pendingin ruangan menusuk tubuh Yati. Tapi tak ada waktu untuk berdiam sejenak, Solemah mengajaknya bergegas. Dua teman lain pun mengikuti tanpa bersuara. 

Di depan sebuah toko buku, mereka berhenti. Sofi dan Maryam bercanda berdua, tertawa-tawa. Solemah mengangkat-angkat ponselnya, sambil memunggungi kaca pajang toko buku. "Ini supaya yang di dalam tidak lihat aku! Sudah kamu nggak usah ikut lihat aku, kamu pura-pura ngapain, gitu," katanya ketus, ketika mendapati Yati menatapnya heran.

"Yati, kamu ingat. Nanti begitu di dalam, kamu ambil satu buku. Pura-pura baca. Sudah begitu saja. Selanjutnya ikuti Sofi. Ya?"

Yati mengangguk. 

"Awas kamu!" Nada suara Solemah penuh ancaman. 

Langkah Yati sempat tersendat, tapi Sofi sudah menarik tangannya. Maryam menepuk pelan pipinya, sambil memberi tanda agar tersenyum. Bertiga mereka masuk toko buku.  Menyusuri rak-rak. Tapi matanya tak bisa membaca satu pun judul buku yang terpampang. Bahkan warna-warna buku itu pun rasanya membaur tidak jelas. Yati bergegas menunduk. Dadanya berdetak kencang sekali. Maryam dan Sofi mengambil satu buku dan melihat-lihatnya. Apa yang mereka baca? Yati ingat pesan Solemah, ambil buku, pura-pura baca. Segera ia mengambil apa saja yang ada di dekatnya. 

"Yati... Yati... yang itu... yang itu...," Sofi berbisik. Matanya menuju ke arah seorang ibu yang sedang membantu anaknya mengambil buku besar. Si anak melompat-lompat tidak sabaran. 

Oh ya... yang itu... Yati segera menuju ke arah ibu dan anak itu. Tadi Solemah menyuruhnya ada di dekat ibu ini. Ibu yang turun dari mobil warna merah. Anaknya lucu. Kira-kira umurnya sama dengan Rafi. Rambutnya lebat, juga seperti Rafi. Wajahnya tampan, badannya sehat sekali. Wah, Rafi pasti juga akan tampan kalau bajunya bagus seperti itu. Hm... Rafi sekarang sedang apa ya? 

"Mbak, permisi. Mbak, maaf saya mau ambil buku itu," suara si ibu menghentikan lamunan Yati. Ibu itu menatap heran. Karena Yati berdiri tegak di depannya, diam saja, menghalangi dan mengganggu sekali. 

"Oh ya bu. Ya. Maaf," tergopoh-gopoh Yati minggir. Apa pesan Solemah tadi? Ambil buku? Pura-pura baca? 

Tangan Yati secara asal bergoyang. Akibatnya, tumpukan buku di sebelahnya rebah. Aduh!
Ibu itu masih menatap heran. Tapi dengan sigap lalu memanggil pelayan toko. "Mas... mas... tolong mas. Bukunya berantakan ini." 

Seorang pelayan toko segera menghampiri. Lalu menata buku-buku yang tadi dijatuhkan Yati. 
Jantung Yati berdegup keras sekali. Ia sesaat ragu. Tapi ia masih ingat kata-kata Solemah. Ambil buku. Pura-pura baca. Ambil buku. Pura-pura baca. 

Ibu itu melaluinya. Menuju anaknya yang tampak tekun mengamati buku besar bergambar binatang. Mereka lalu tertawa bersama. Yati menatap iri. Kangen Rafi. Oh. Ambil buku. Pura-pura baca. Ia segera mengalihkan mata ke buku di tangannya. Gambar apa ini? Oh, bukunya ternyata terbalik. Pantas tidak jelas.   
Ia lihat Sofi dan Maryam sudah berada di dekat ibu itu juga. Solemah ada di dekat rak buku yang satunya. Matanya menatap Yati tajam. Yati beringsut mendekat. Ambil buku. Pura-pura baca. Ambil buku. Pura-pura baca. 

Anak itu melihat ke ibunya, lalu tertawa lagi, berseru-seru sambil melihat ke buku, "Wah, monyetnya bisa menari!"

Rafi pasti juga akan senang kalau punya buku bagus seperti itu. 

Ibu itu tiba-tiba menatap Yati. Heran melihat Yati mengamati anaknya begitu lekat. Yati menunduk. Ambil buku. Pura-pura baca.   

Tiba-tiba Yati melihat ibu itu bergerak cepat, balik badan, setengah berteriak, "Eh... eh... kok tas saya terbuka? Eh... ada apa ini?" Ibu itu tampak panik sesaat. Tapi masih waspada, ia sekali lagi memanggil pelayan toko, "Mas... mas... tolong mas... ini ada yang nggak bener nih.... Mas!"

Yati melihat Sofi dan Maryam sigap melesat. Bagai terbang mereka keluar toko. Solemah pun tampak beringsut mendekati pintu. Yati bingung sesaat. Ambil buku. Pura-pura baca. Eh... tapi mereka keluar.  Segera ia kembalikan buku di tangannya, ingin menyusul Sofi dan Maryam. Juga ingin segera mendekati Solemah. Lho? Mana Solemah?

Yati celingukan ketika petugas toko menangkap tangannya. "Ayo kamu ikut saya!" 

Jantung Yati seakan jatuh ke lantai. Ia didudukkan di lantai dekat meja kasir.    

"Iya, saya lihat tas saya tiba-tiba terbuka... mbak ini tadi melihat-lihat terus... aneh sekali... tas saya terbuka. Tidak... tidak ada yang hilang.... Tapi coba lihat di CCTV. Sepertinya teman-teman mbak ini tadi mencurigakan sekali. Mereka pasti komplotan...."

"Bloon kamu! Bloon! Kita semua bisa masuk penjara."

"Coba mas, periksa rekaman CCTV. Lihat, ada empat perempuan yang masuk toko ini setelah saya. Nah, iya... itu mereka...."

"Ambil buku. Pura-pura baca. Jangan suka bengong seperti itu. Mereka bisa curiga."

Samar-samar Yati masih mendengar suara-suara itu. Samar. Perasaannya berkecamuk. Ia kangen Rafi. Ia ingin pulang ke Kebumen. Ke anaknya.

"Nah, betul kan mas. Betul kan... yang baju kuning yang membuka tas saya! Astaga. Mereka ini penjahat! Saya sudah curiga karena saya lihat mbak ini baca buku kok terbalik. Mereka komplotan ya. Aduh. Saya akan lapor polisi." 

Tidak ada lagi mereka. Hanya tinggal Yati. Hanya ia yang akan dipenjara. Dia. Yati. Anggota baru komplotan copet. Yati jatuh pingsan. Ia hanya kangen anaknya. 



(Dimuat di salah satu Majalah Femina yang terbit bulan Maret 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alasan

Selalu ada alasan untuk memelihara hobby. Tapi tentu juga ada alasan tepat menghentikannya. Anita tak beranjak dari depan etalase, sudah lebih dari lima menit. Sepasang sepatu terpajang di situ. Sepatu warna merah, model tertutup, dengan tali-tali. Tinggi haknya sepuluh centimeter. Di kepalanya, Anita sudah membayangkan bahwa ia akan mengenakan sepatu itu dengan tas merah besar tersandang di bahu. Bajunya? Terusan warna khaki. Anita memejamkan mata, agar bayangan itu makin nyata. Uh… cantiknya…. Akhirnya Anita masuk ke dalam butik sepatu itu. Langsung menuju si merah seperti memenuhi panggilan kekasih. Diambilnya sepatu yang kiri. Dari dekat, sepatu itu memang betul-betul cantik. Seperti otomatis, Anita mencopot sepatunya dan mencoba sepatu merah itu. Pas. Anita tidak sempat lagi berpikir, tahu-tahu ia sudah keluar dari butik sepatu itu, membawa si merah, pacar barunya. *** "Hanya untuk sepasang sepatu?" alis Benno naik sebelah. "Ini bukan ‘hanya sepatu'. Ini sepatu

Anakku Sayang...

Dari tadi, aku lihat perempuan itu hilir mudik. "Bu… bu… lihat anak baju kuning? Kuncir dua...," ia mencolek lenganku. Terkejut, aku menggeleng. "Bajunya kuning, ada gambar boneka." Aku menggeleng lagi. Wajahnya berubah sendu. "Di mana, ya, dia...," Lalu air matanya tumpah. Menangis meraung-raung. Perempuan itu kehilangan anaknya. Menurut cerita tukang sayur, anaknya dibawa lari oleh suaminya yang kawin lagi. Sejak itu, perempuan itu jadi gila. Tentu saja, kehilangan suami adalah kehilangan separuh jiwa. Ditambah kehilangan anak, artinya hilang lagi separuh nyawa. Tiba-tiba aku kangen sekali pada anakku. "Sudah, Mang. Sudah. Itu saja belanja saya. Berapa semuanya?" "Lho, Bu. Tidak jadi menunggu tukang ayam?" "Tidak, Mang. Saya mau pulang sekarang." Saya pengen cium anak saya, tambahku, dalam hati. (Dimuat pertama kali untuk booklet Walls Best Friend Forever Mom, Good Housekeeping Juli 2009)

Warna Warni

Ternyata betul juga... baju dalam warna merah bisa menaikkan mood... yang tadinya bete jadi ceria... Ajaib! Dulu, saya adalah orang hitam. Bukan karena saya terlalu sering berjemur di pantai... tetapi ini tentang orientasi saya terhadap warna, terutama pada benda-benda yang saya kenakan. Sepatu, selalu hitam. Tas, hitam. Pakaian, dominan hitam, kadang-kadang saja warna lain, tapi tidak jauh-jauh dari warna gelap seperti biru tua atau coklat tua. Kalau ditanya kenapa, mungkin alasan utama adalah karena badan saya yang tidak bisa dibilang ideal. Jadi, karena di majalah sering disebut bahwa warna hitam melangsingkan, semangatlah saya memuja warna itu. Tentang tas dan sepatu, saya pilih hitam karena lagi-lagi di majalah saya baca bahwa hitam warna netral, yang sesuai dipadankan dengan warna apa pun. Karena hitam adalah warna favorit, saya jadi kurang semangat belanja sepatu, tas, atau pakaian, karena hasilnya cenderung monoton, itu-itu saja, tidak kelihatan jelas beda baju baru baju