Langsung ke konten utama

Warna Warni

Ternyata betul juga... baju dalam warna merah bisa menaikkan mood... yang tadinya bete jadi ceria... Ajaib!

Dulu, saya adalah orang hitam. Bukan karena saya terlalu sering berjemur di pantai... tetapi ini tentang orientasi saya terhadap warna, terutama pada benda-benda yang saya kenakan. Sepatu, selalu hitam. Tas, hitam. Pakaian, dominan hitam, kadang-kadang saja warna lain, tapi tidak jauh-jauh dari warna gelap seperti biru tua atau coklat tua. Kalau ditanya kenapa, mungkin alasan utama adalah karena badan saya yang tidak bisa dibilang ideal. Jadi, karena di majalah sering disebut bahwa warna hitam melangsingkan, semangatlah saya memuja warna itu. Tentang tas dan sepatu, saya pilih hitam karena lagi-lagi di majalah saya baca bahwa hitam warna netral, yang sesuai dipadankan dengan warna apa pun.

Karena hitam adalah warna favorit, saya jadi kurang semangat belanja sepatu, tas, atau pakaian, karena hasilnya cenderung monoton, itu-itu saja, tidak kelihatan jelas beda baju baru baju lama, karena semua hitam, hitam, dan hitam. Saya seperti takut kecewa kalau memilih warna lainnya.

Perubahan agak besar terjadi ketika hidup saya berubah. Suatu hari saya dilanda kejenuhan luar biasa, hingga rasanya tidak punya daya, gara-gara pekerjaan dan urusan rumah serta anak saya semata wayang. Sebagai single parent, saya seperti tak punya teman berbagi. Entah kenapa, tiba-tiba saya ingin belanja! Astaga. Entah kenapa pula saya ikuti dorongan belanja itu. Mungkin karena sudah tidak ada ide lain lagi. Anehnya, tidak ada angin tak ada hujan, saya jadi terpesona warna-warna ceria. Kaos kuning tiba-tiba jadi sangat menarik hati. Sepatu merah tampaknya bisa jadi aksen menarik ketika pakai jeans. Bahkan baju dalam warna ceria pun sempat saya pilih-pilih. Barangkali daya tarik warna warni itu membuat hati saya yang tadinya gundah jadi agak terhibur? Tak tahulah. Yang jelas, seperti kena tenung, pulang belanja hari itu jadi rekor baru untuk saya, karena menghasilkan satu dompet warna oranye, sepasang sepatu warna merah, dan satu atasan warna kuning cerah serta terusan bunga-bunga merah!

Dan ternyata saya suka sekali melihat ada warna lain di antara barang-barang saya yang hitam kelam. Apalagi ketika sepatu merah itu saya kenakan, banyak yang memuji. Begitu juga terusan bunga-bunga yang, kabarnya, membuat wajah saya jadi cerah. Kalau dipikir-pikir, bisa jadi warna-warna itu memang membuat saya yang tadinya 'hitam' jadi berbeda, kan?

Memang warna membuat hidup saya jadi lebih bergairah. Ketika membuka tas hitam, dompet warna oranye itu jadi menimbulkan suasana baru. Sepertinya, warna cerah itu terbawa sampai ke hati, hingga saya ikut gembira. Betul, lho. Padahal isi dompetnya sih tidak seberapa....

Suatu hari, seorang teman mengajak saya berbelanja baju dalam. Obrolan-obrolan sambil memilih tiba-tiba mengantar saya pada sepasang under wear seksi warna merah menyala. Astaga. Itu adalah warna yang tidak pernah ada dalam pikiran saya selama ini. Tetapi, teman saya gigih membujuk. "Biarpun tidak ada yang melihat, baju dalam warna ini bisa membuat kamu ceria sepanjang hari." Masa iya?

Tak perlu waktu lama, saya berhasil membuktikan ucapan teman saya itu. Bangun pagi, saya merasa agak tegang karena ingat bahwa jadwal hari itu dipenuhi beberapa rapat. Ingat petuah si sobat, segera saya sambar baju dalam warna merah yang baru itu. Barangkali sugesti, tapi saya merasa sangat seksi dengan pakaian dalam itu. Dan perasaan seksi ini berimbas pada makin besarnya rasa percaya diri saya. Ujung-ujungnya, saya merasa lebih optimis, dan jadi lebih tenang. Hilang sudah ketegangan saya ketika bangun pagi. Rapat pun lancar karena presentasi saya berhasil. Ternyata betul juga... baju dalam warna merah bisa menaikkan mood... Buktinya, saya yang tadinya bete jadi ceria... Ajaib!

Karena efek warna yang ternyata sangat terasa ini, saya seperti kecanduan macam-macam warna. Tiba-tiba saya merasa koleksi busana saya sudah waktunya diganti semua. Bulan ini saja saya sudah membeli satu tas warna pink dan sepasang sepatu warna senada. Kalau tidak ingat bahwa kartu kredit ada batasnya -dan bahwa tagihan bulan depan bisa membuat saya pingsan- rasanya saya ingin bolak balik ke mal, memperbarui isi lemari! Wah, kalau terus belanja begini, dompet warna secerah apa pun tak akan membangkitkan mood saya!

(Tulisan ini pernah dimuat di rubrik Gado-gado, femina, 2008)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Alasan

Selalu ada alasan untuk memelihara hobby. Tapi tentu juga ada alasan tepat menghentikannya. Anita tak beranjak dari depan etalase, sudah lebih dari lima menit. Sepasang sepatu terpajang di situ. Sepatu warna merah, model tertutup, dengan tali-tali. Tinggi haknya sepuluh centimeter. Di kepalanya, Anita sudah membayangkan bahwa ia akan mengenakan sepatu itu dengan tas merah besar tersandang di bahu. Bajunya? Terusan warna khaki. Anita memejamkan mata, agar bayangan itu makin nyata. Uh… cantiknya…. Akhirnya Anita masuk ke dalam butik sepatu itu. Langsung menuju si merah seperti memenuhi panggilan kekasih. Diambilnya sepatu yang kiri. Dari dekat, sepatu itu memang betul-betul cantik. Seperti otomatis, Anita mencopot sepatunya dan mencoba sepatu merah itu. Pas. Anita tidak sempat lagi berpikir, tahu-tahu ia sudah keluar dari butik sepatu itu, membawa si merah, pacar barunya. *** "Hanya untuk sepasang sepatu?" alis Benno naik sebelah. "Ini bukan ‘hanya sepatu'. Ini sepatu

Anakku Sayang...

Dari tadi, aku lihat perempuan itu hilir mudik. "Bu… bu… lihat anak baju kuning? Kuncir dua...," ia mencolek lenganku. Terkejut, aku menggeleng. "Bajunya kuning, ada gambar boneka." Aku menggeleng lagi. Wajahnya berubah sendu. "Di mana, ya, dia...," Lalu air matanya tumpah. Menangis meraung-raung. Perempuan itu kehilangan anaknya. Menurut cerita tukang sayur, anaknya dibawa lari oleh suaminya yang kawin lagi. Sejak itu, perempuan itu jadi gila. Tentu saja, kehilangan suami adalah kehilangan separuh jiwa. Ditambah kehilangan anak, artinya hilang lagi separuh nyawa. Tiba-tiba aku kangen sekali pada anakku. "Sudah, Mang. Sudah. Itu saja belanja saya. Berapa semuanya?" "Lho, Bu. Tidak jadi menunggu tukang ayam?" "Tidak, Mang. Saya mau pulang sekarang." Saya pengen cium anak saya, tambahku, dalam hati. (Dimuat pertama kali untuk booklet Walls Best Friend Forever Mom, Good Housekeeping Juli 2009)